Senin, 28 Desember 2009

Jujurlah Pada Demokrasi


Pemilu legislative 2009 telah berlalu, berlalu meninggalkan berbagai masalah baru. Pasalnya dari pelaksanaan pemilu tanggal 2009 kemarin, banyak masalah yang muncul, mulai dari penyelewengan data pemilih tetap, penyelewengan kartu suara, money politik, dan penyelewengan-penyelewengan yang lain. Belum lagi efek-efek social  yang terjadi, antara lain peningkatan penyakit stress,  timbulnya konflik antar simpatisan partai, jotos-jotosan, bahkan tikam-tikaman, dan lain sebagainya. Ada apa sebenarnya dengan pemilu Indonesia? Akankah pelaksanaan pemilu seperti ini yang akan membawa perubahan?
Mungkin, inilah yang menjadi alasan beberapa orang untuk tidak ikut serta memeriahkan pesta demokrasi (pemilu) ini, selain memang karena masalah teknis. Mereka merasa bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan nasib mereka menjadi lebih baik. Pengalaman pemilu di tahun-tahun sebelumnya menjadi pelajaran bagi mereka, hanya janji-janji saja yang diobral, implementasinya tidak ada.
Banyak pihak berharap, demokrasi akan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, bedasarkan asumsi bahwa semakin demokratis, rakyat akan kian sejahtera. Berbagai mode demokrasipun dicoba. Mulai dari deokrasi terpimpin ala Soekarno, Demokrasi Pancasila ala Soeharto, demokrasi ala Habibie, hingga demokrasi liberal ala reformasi. Namun, hasil yang diharapkan tidak kunjung tiba. Rakyat tetap saja tidak menikmati buah berdemokrasi selain hanya pesta demokrasi.
Ini adalah fakta. Terbukti, 60 tahun Indonesia merdeka lebih dari 30 persen penduduk Indonesia tidak mempunyai jamban. Lebih dari 100 juta penduduk belum memiliki akses air minum yang layak. Angka kemiskinan berada pada angka sekitar 17 persen jika menggunakan standar nasional. Namun, jika standar yang digunakan adalah standar Bank Dunia, lebih banyak lagi warga Negara Indonesia yang miskin. Kenyataan seperti ini tidak hanya dijumpai di Inodnesia, tetapi juga di Negara lain seperti India yang jauh lebih dulu mencoba berdemokrasi. Bahkan di Amerika sendiri, pemerintahnya tidak mampu menghilangkan kemiskinan ini, malah tahun ini jumlahnya akan meningkat akibat krisis ekonomi.
Jargon demokrasi “Vox Populi vox dei” (Suara rakyat adalah suara Tuhan) yang dalam bahasa Abraham Lincoln disebut system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hanyalah pepesan kosong belaka. Kenyataannya, pemerintahan yang dijalankan Negara demokrasi tidak berkiblat pada kehendak rakyat, tetapi berkiblat pada penguasa dan orang-orang yang punya modal (kapitalis). Lihat saja UU yang dibuat penguasa/DPR; UU SDA, UU Migas, UU penanaman modal, UU BHP, UU Minerba, dll semuanya menguntungkan penguasa/pemilik modal.
Melihat kenyataan ini, sebenarnya mengapa saat ini kita masih saja memakai demokrasi? Kalau memang demokrasi tidak terbukti mensejahteraan dan tidak membawa perbaikan, kita buang saja dan kita cari system yang lebih baik dan sudah terbukti keberhasilannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar