Pemilu
legislative 2009 telah berlalu, berlalu meninggalkan berbagai masalah baru.
Pasalnya dari pelaksanaan pemilu tanggal 2009 kemarin, banyak masalah yang
muncul, mulai dari penyelewengan data pemilih tetap, penyelewengan kartu suara,
money politik, dan penyelewengan-penyelewengan yang lain. Belum lagi efek-efek
social yang terjadi, antara lain
peningkatan penyakit stress, timbulnya
konflik antar simpatisan partai, jotos-jotosan, bahkan tikam-tikaman, dan lain
sebagainya. Ada apa sebenarnya dengan pemilu Indonesia? Akankah pelaksanaan
pemilu seperti ini yang akan membawa perubahan?
Mungkin, inilah
yang menjadi alasan beberapa orang untuk tidak ikut serta memeriahkan pesta
demokrasi (pemilu) ini, selain memang karena masalah teknis. Mereka merasa
bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan nasib mereka menjadi lebih baik.
Pengalaman pemilu di tahun-tahun sebelumnya menjadi pelajaran bagi mereka,
hanya janji-janji saja yang diobral, implementasinya tidak ada.
Banyak pihak
berharap, demokrasi akan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, bedasarkan
asumsi bahwa semakin demokratis, rakyat akan kian sejahtera. Berbagai mode
demokrasipun dicoba. Mulai dari deokrasi terpimpin ala Soekarno, Demokrasi
Pancasila ala Soeharto, demokrasi ala Habibie, hingga demokrasi liberal ala
reformasi. Namun, hasil yang diharapkan tidak kunjung tiba. Rakyat tetap saja
tidak menikmati buah berdemokrasi selain hanya pesta demokrasi.
Ini adalah
fakta. Terbukti, 60 tahun Indonesia merdeka lebih dari 30 persen penduduk
Indonesia tidak mempunyai jamban. Lebih dari 100 juta penduduk belum memiliki
akses air minum yang layak. Angka kemiskinan berada pada angka sekitar 17
persen jika menggunakan standar nasional. Namun, jika standar yang digunakan
adalah standar Bank Dunia, lebih banyak lagi warga Negara Indonesia yang
miskin. Kenyataan seperti ini tidak hanya dijumpai di Inodnesia, tetapi juga di
Negara lain seperti India yang jauh lebih dulu mencoba berdemokrasi. Bahkan di
Amerika sendiri, pemerintahnya tidak mampu menghilangkan kemiskinan ini, malah
tahun ini jumlahnya akan meningkat akibat krisis ekonomi.
Jargon demokrasi
“Vox Populi vox dei” (Suara rakyat
adalah suara Tuhan) yang dalam bahasa Abraham Lincoln disebut system
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hanyalah pepesan kosong
belaka. Kenyataannya, pemerintahan yang dijalankan Negara demokrasi tidak
berkiblat pada kehendak rakyat, tetapi berkiblat pada penguasa dan orang-orang
yang punya modal (kapitalis). Lihat saja UU yang dibuat penguasa/DPR; UU SDA,
UU Migas, UU penanaman modal, UU BHP, UU Minerba, dll semuanya menguntungkan
penguasa/pemilik modal.
Melihat
kenyataan ini, sebenarnya mengapa saat ini kita masih saja memakai demokrasi?
Kalau memang demokrasi tidak terbukti mensejahteraan dan tidak membawa
perbaikan, kita buang saja dan kita cari system yang lebih baik dan sudah
terbukti keberhasilannya.