Senin, 28 Desember 2009

Jujurlah Pada Demokrasi


Pemilu legislative 2009 telah berlalu, berlalu meninggalkan berbagai masalah baru. Pasalnya dari pelaksanaan pemilu tanggal 2009 kemarin, banyak masalah yang muncul, mulai dari penyelewengan data pemilih tetap, penyelewengan kartu suara, money politik, dan penyelewengan-penyelewengan yang lain. Belum lagi efek-efek social  yang terjadi, antara lain peningkatan penyakit stress,  timbulnya konflik antar simpatisan partai, jotos-jotosan, bahkan tikam-tikaman, dan lain sebagainya. Ada apa sebenarnya dengan pemilu Indonesia? Akankah pelaksanaan pemilu seperti ini yang akan membawa perubahan?
Mungkin, inilah yang menjadi alasan beberapa orang untuk tidak ikut serta memeriahkan pesta demokrasi (pemilu) ini, selain memang karena masalah teknis. Mereka merasa bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan nasib mereka menjadi lebih baik. Pengalaman pemilu di tahun-tahun sebelumnya menjadi pelajaran bagi mereka, hanya janji-janji saja yang diobral, implementasinya tidak ada.
Banyak pihak berharap, demokrasi akan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, bedasarkan asumsi bahwa semakin demokratis, rakyat akan kian sejahtera. Berbagai mode demokrasipun dicoba. Mulai dari deokrasi terpimpin ala Soekarno, Demokrasi Pancasila ala Soeharto, demokrasi ala Habibie, hingga demokrasi liberal ala reformasi. Namun, hasil yang diharapkan tidak kunjung tiba. Rakyat tetap saja tidak menikmati buah berdemokrasi selain hanya pesta demokrasi.
Ini adalah fakta. Terbukti, 60 tahun Indonesia merdeka lebih dari 30 persen penduduk Indonesia tidak mempunyai jamban. Lebih dari 100 juta penduduk belum memiliki akses air minum yang layak. Angka kemiskinan berada pada angka sekitar 17 persen jika menggunakan standar nasional. Namun, jika standar yang digunakan adalah standar Bank Dunia, lebih banyak lagi warga Negara Indonesia yang miskin. Kenyataan seperti ini tidak hanya dijumpai di Inodnesia, tetapi juga di Negara lain seperti India yang jauh lebih dulu mencoba berdemokrasi. Bahkan di Amerika sendiri, pemerintahnya tidak mampu menghilangkan kemiskinan ini, malah tahun ini jumlahnya akan meningkat akibat krisis ekonomi.
Jargon demokrasi “Vox Populi vox dei” (Suara rakyat adalah suara Tuhan) yang dalam bahasa Abraham Lincoln disebut system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, hanyalah pepesan kosong belaka. Kenyataannya, pemerintahan yang dijalankan Negara demokrasi tidak berkiblat pada kehendak rakyat, tetapi berkiblat pada penguasa dan orang-orang yang punya modal (kapitalis). Lihat saja UU yang dibuat penguasa/DPR; UU SDA, UU Migas, UU penanaman modal, UU BHP, UU Minerba, dll semuanya menguntungkan penguasa/pemilik modal.
Melihat kenyataan ini, sebenarnya mengapa saat ini kita masih saja memakai demokrasi? Kalau memang demokrasi tidak terbukti mensejahteraan dan tidak membawa perbaikan, kita buang saja dan kita cari system yang lebih baik dan sudah terbukti keberhasilannya.

Minggu, 28 Juni 2009

ITULAH INDONESIA..

“halo-halo jogja ibu kota pendidikan,
sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau,
sekarang telah menjadi lautan aksi,
ayo bung rebut kembali……”
Bait diatas adalah cuplikan dari lagu aksi mahasiswa jogja, bukan bermaksud menjadi plagiat tapi itulah realitas yang tersuguh dihadapan kita saat ini. Ironis memang, ketika melihat wajah pendidikan Indonesia saat ini. Di satu sisi pelajar Indonesia di “ekspor”untuk sekolah ke luar negeri. Namun kita tidak bisa menafikkan sisi lain dari wajah Indonesia. Pendidikan hampir terjadi dimana-mana, salah satunya di jalanan. Perempatan jalan menjadi tempat favorit anak-anak untuk bermain, sekolah sudah kalah tenar dengan alunan musik jalanan.
Wajah pendidikan Indonesia serasa carut marut. Pendidikan diobral besar-besaran, seharusnya dengan diobralnya pendidikan, rakyat miskin dapat menikmati pendidikan itu dengan semestinya. Namun justru sebaliknya, pendidikan dijual dan rakyat miskin hanya bisa melihat dengan tatapan kosong dan perut buncit mereka.
Dengan berdalih sekolah gratis, buku-buku pelajaran dijual seharga pizza sejumlah kacang goreng di pasar. Tanpa buku-buku itu pendidikan serasa tanpa modal. Rakyat miskin pun mau tidak mau harus menelan kenyataan pahit tersebut.
Undang-Undang Dasar hanya menjadi hafalan para pejabat tanpa tahu artinya. Mungkin kita harus saling mengingatkan kalu kita masih punya UUD 1945 pasal 31. Pasal itu masih ada kan? Belum terhapus dari teks Undang-Undang Dasar kan? Ataukah dengan kemajuan teknologi, pasal itu ke-hidden oleh virus-virus lokal, dan tidak ada anti virusnya?
Terkadang kita harus menerima itu dengan ludah terkulum, melihat wajah pendidikan Indonesia. Bahkan yang tidak kalah serunya, universitas saling berlomba-lomba untuk “membeli” label BLU. Tidak ketinggalan UNY, bulan ini label itu telah resmi menempel erat dalam nama UNY. Universitas yang mengaku akan menelurkan calon-calon guru professional. Menggelikan memang, universitas sekelas UNY dengan latar belakang IKIP telah resmi menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Mau dibawa kemana pendidikan Indonesia ini? Akankah kita akan diam saja melihat semua ini???
Bulan ini kita memperingati dua moment yang dulu sangat berarti untuk bangsa Indonesia. Kita tidak mengatakan kalau sekarang kita tidak bangga. Kita bangga, kalau dulu kita membanggakan diri dengan prestasi, sekarang kita membanggakan diri dengan tangisan dan uraian air mata melihat kebangkitan nasional yang hanya setengah bangkit.
Seandainya burung garuda bisa bicara dan bergerak, garuda akan menutup rentangan sayapnya atau mungkin sekarang burung garuda itu hanya sebatas simbol dan garuda sekarang sudah kembali ke sarangnya, tidur terlelap terbuai nyanyian merdu anak jalanan?? Atau mungkin garuda kita juga ikut terkena penyakit busung lapar yang tahun-tahun ini menjadi penyakit favorit orang miskin?? Atau jangan-jangan sudah “mati”terkena penyakit flu burung  ;-).
INDONESIA saatnya kita bangkit, merentangkan sayap kebangkitan kita, membangunkan garuda kita yang terlelap dalam buaian, saatnya kita untuk bangkit dan mengatakan AKU BANGGA MENJADI ORANG INDONESIA.
Si Je_inspir

Pendidikan: Investasi Utama Suatu Bangsa

Knowledge is power but character is more. Ilmu pengetahuan adalah utama, tetapi karakter (moral) lebih utama. Inti dari peribahasa ini adalah pentingnya pendidikan bermoral, terutama untuk bangsa ini. Jika yang dikatakan memanglah seperti itu, maka ini akan berkaitan dengan kunci masa depan suatu bangsa yaitu kualitas sumber daya manusianya.
Kualitas dan jumlah penduduk yang berpendidikan akan menentukan kemakmuran atau kemiskinan Negara yang bersangkutan. Terlalu banyak argumentasi yang dapat dijadikan alasan untuk menunjukkan alasan bahwa pendidikan merupakan modal utama bagi kelahiran kebangkitan nasional di negeri ini. Dari segi konsep, Departemen Pendidikan Nasional telah merumuskan konsep tiga pilar pembangunan pendidikan. Pertama, pendidikan yang merata dan dapat diakses oleh seluruh anak bangsa. Kedua, pendidikan yang bermutu, relevan, dan berdaya saing tinggi. Ketiga, pendidikan yang dikelola dengan atau secara good governance. Secara konseptual, tiga pilar pendidikan tersebut memang merupakan persoalan mendasar pendidikan di negeri ini. Tetapi dalam implentasinya, kebanyakan konsep yang baik itu seringkali tidak sesuai dengan harapan.
 Dr Wahidin menyiratkan makna bahwa kebangkitan Indonesia sudah semestinya berawal dari kebangkitan pendidikan. Melihat kondisi sekarang, tak perlu lagi kita menjelekkan bangsa sendiri dengan mengatakan Indonesia yang modern, tapi rakyatnya masih banyak yang miskin dan tingkat pendidikannya belum merata. Apalagi banyak gedung sekolah yang reyot, bahkan ambruk. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana caranya kita memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia.
Sejarah telah memberikan saksi bahwa kelahiran kebangkitan nasional adalah berkat hasil pendidikan yang berkualitas. Para pendiri organisasi modern Budi Utomo, yang merupakan tonggak kebangkitan nasional, adalah hasil pendidikan yang berkualitas. Bila sebuah bangsa ingin maju, harus memulai semuanya dari pendidikan (JH. Abendanon). Berilah aku pendidikan dan kami akan bangkit sebagai bangsa yang memiliki cita-citra (RA. Kartini). Pendidikan adalah investasi utama satu bangsa (Sayidiman Suryohadipordjo).
Saat ini, Indonesia sedang dilanda krisis multidimensi. Beberapa diantaranya adalah krisis ekonomi yang membuat kemiskinan meraja lela dan krisis akhlak yang menimbulkan kriminalitas. Permasalahan ini diakibatkan oleh lemahnya sistem pendidikan baik dari segi dana, fasilitas, maupun materi. Bila masalah ini tidak dikaji dan dibenahi secara serius, kemajuan negara yang didambakan akan lambat tercapai.
Sedangkan untuk anggaran dana pendidikan kita masih kurang. Pendidikan yang layak hanya mampu membina generasi-generasi tunas bangsa yang berasal dari golongan menengah ke atas. Sementara mereka yang berasal dari strata bawah kurang mendapat perhatian pendidikan yang layak dan terprogram secara terstruktur. Dalam UU Nomor 18 tahun 2006 tentang APBN tahun anggaran 2007 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 90,10 triliun. Jumlah itu hanya 11,8 persen dari total APBN 2007 yang besarnya mencapai Rp 763,6 triliun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD RI 1945 yang menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. (data 18 Januari 2007). Jika anggaran pendidikan seperti ini, mana mungkin masyarakat yang berpendidikan akan terciptadan kebangkitan bangsa berkembang, untuk tahun 2009 kemungkinan masih belum bisa diatasi.
Kurikulum pendidikan sekolah formal lebih banyak menekankan aspek teoritis generalis daripada aplikasi dan spesialisasi. Pendalaman terhadap ilmu pun hanya berkisar pada tataran idealis berdasarkan teori bukan kepada masalah realistis, sehingga pengembangan kreativitas dan keahlian bidang IPTEK berjalan kurang baik. Hal inilah menyebabkan bangsa ini kurang produktif dalam menghasilkan produk-produk teknologi.
Pembinaan akhlak yang berlandaskan pada agama pun masih kurang. Pelajaran agama terkadang hanya dipandang sebagai penambah wawasan tanpa diwujudkan dalam bentuk moral. Adalah kewajiban kita membentuk karakteristik ilmu padi. Semakin tumbuh tinggi, semakin merunduk. Semakin tinggi pengetahuan semakin rendah hati dan menjadi teladan bagi masyarakat baik dalam segi pemikiran maupun tindakan. Inilah yang kurang terasa pada output pendidikan saat ini.
Permasalahan pendidikan lain yang terjadi pada masyarakat kita adalah kurangnya penghargaan pada guru. Padahal merekalah tulang punggung peradaban bangsa yang memberantas kebodohan yang melanda masyarakat. Adalah wajib bagi seorang guru untuk mendapat reward yang besar. Dalam konteks persekolahan, guru adalah ujung tombak. Guru memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin proses pembelajaran bisa berlangsung.
Pendidikan Indonesia harus segera dibenahi dan mendapat perhatian yang besar. Karena pendidikan adalah tonggak akselerasi kebangkitan nasional di era globalisasi ini. Kerja sama, analisa, dan dialog solutif perlu dilaksanakan oleh pemerintah dengan para pakar pendidikan, guru, scientist, ulama, dan pengusaha. Dengan usaha itu diharapkan permasalahan pendidikan (dana, kurrikulum dan sistem serta atensi pada SDM pendidikan) akan terpecahkan secara terprogram dan terstruktur. Jika hal ini berhasil, tidaklah mustahil kita, bangsa Indonesia akan mampu menjadi negara maju dan terdepan.

FMIPA UNY Terima Sertifikat ISO


YOGYAKARTA, PILAR - Fakultas FMIPA UNY telah menyandang gelar sebagai Fakultas berlabel International Organization for Standardization (ISO). Bagaimana antusias warga FMIPA UNY menyambutnya?
Kebanggaan tak terkira dirasakan oleh seluruh mahasiswa FMIPA UNY, terutama Dekan FMIPA UNY, DR. Ariswan paska penerimaan sertifikat ISO 23 Maret lalu. Sertifikat International Organization for Standardization (ISO) diterima Fakultas FMIPA UNY setelah selama kurang lebih satu tahun keluarga besar FMIPA UNY yang peduli terhadap peningkatan kualitas mutu pendidikan mengonsep dan mempersiapkan program ISO ini.
International Organization for Standardization (ISO) merupakan suatu program standarisasi mutu suatu organisasi yang didasarkan pada standar-standar management mutu yang baik dan professional. Dengan diterimanya setifikat ISO oleh suatu organisasi, maka organisasi tersebut wajib untuk menjalankan kegiatan organisasi sesuai dengan standard operational procedure yang sudah ditetapkan dalam buku pedoman ISO. Buku pedoman ISO merupakan buku yang berisi standard operational procedure terhadap beberapa kegiatan dan pelayanan suatu organisasi. Di UNY sendiri, buku pedoman ISO ini memuat sekitar 40 standard operational procedure yang telah dikonsep secara matang dan telah disetujui sebagai pedoman pelaksanaan ISO.
Tahun ini adalah tahun kerja keras bagi keluarga besar FMIPA UNY untuk bisa menjalankan program ISO sebelum dilakukan evaluasi oleh pihak pusat satu tahun setelahnya. Hal inilah kemudian yang menimbulkan kekhawatiran DR. Ariswan, dekan FMIPA UNY pertama yang berhasil membawa FMIPA meraih sertifikat ISO, bagaimana agar standar mutu ISO bisa diimplementasikan. Oleh karena itu, DR. Ariswan mengatakan bahwa mahasiswa adalah ujung tombak dari keberhasilan ini. Sosialisasi yang sudah pernah dilakukan Fakultas sebelum penerimaan sertifikat ISO rasanya akan dilakukan lagi pasca penerimaan sertifikat ISO guna menjalin komunikasi yang lebih sinergis dengan mahasiswa.
“Sebagai presiden mahasiswa MIPA, saya akan membawa kampus ini sebagai center of excellent education, mencetak lulusan MIPA professional sebagai agen keteladanan. ” Begitulah obsesi Dekan FMIPA UNY yang rela mengikuti langsung sosialisasi ISO beberapa waktu lalu di Aula Fakultas Teknik FMIPA UNY. Keseriusan beliau dalam menjalankan program ISO ini dilandasi motivasi untuk melakukan amal sholeh. Beliau mengatakan bahwa peningkatan mutu Fakultas melalui program ISO merupakan amal sholeh beliau sebagai seorang Muslim, bahkan ini adalah kewajiban beliau sebagai seorang imam di FMIPA UNY.
Beberapa point penting yang menjadi sorotan peningkatan mutu ISO adalah peningkatkan mutu pelayanan pendidikan, peningkatan  sarana dan prasarana, peningkatakan kualitas pembelajaran, peningkatan IP mahasiswa, pemendekan masa study, dan cepatnya masa tunggu mahasiswa lulusan FMIPA UNY untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika terdapat satu saja standar tidak tercapai, misalnya IP mahasiswa turun, maka ISO ini gagal dan kemungkinan sertifikat bisa dicabut. Tentu hal ini tidak diharapkan. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan dapat berperan aktif, bersama mendukung dan mengontrol pelaksanaan ISO. Ketika terrjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan standar ISO, maka pengajuanpun dapat disampaikan mahasiswa lewat PD II FMIPA UNYdan kotak milbox saran dan kritik ISO yang akan disediakan oleh Fakultas atau datang langsung ke kantor ISO yang terletak di ruang D.07.110 Gedung Baru FMIPA UNY.
Upaya-upaya penerapan ISO ini pun sudah sangat kentara di lingkungan kampus ini. Program Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang sudah mulai dijalankan, pemenuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan mahasiswa baik pelayanan perkuliahan maupun pemenuhan kebutuhan mahasiswa di ORMAWA, pendisiplinan dosen dan terstrukturnya mekanisme perkulihan, peningkatan kerjasama dengan instansi-instansi pendidikan, kerjasama dan menjalin hubungan dengan jaringan alumni kampus dan lain sebagainya.
Cita-cita mulia ini sudah selayaknya didukung oleh mahasiswa dan warga MIPA lainnya. Apakah mahasiswa khususnya mahasiswa FMIPA UNY sendiri siap menyambut seruan Fakultas ini? Saatnya untuk mempersiapkan diri dari sekarang.

Program Kependidikan Terancam Gulung Tikar


Kekhasan UNY sebagai universitas pendidikan, membuat UNY menjadi primadona terhadap issue-issue pendidikan dan keguruan yang berkembang dewasa ini. Banyak issue pendidikan yang menjadi sorotan dan perbincangan di kampus ini. Seperti halnya dengan wacana Pendidikan Profesi Guru (P2G) yang saat ini menjadi perbincangan hangat baik di kalangan mahasiswa maupun dosen. Bahkan beberapa mahasiswa pun mengaku kebingungan dan was-was dengan wacana baru ini.
Pendidikan Profesi Guru (P2G) merupakan senjata terbaru yang dirancang pemerintah untuk menghancurkan bola masalah pendidikan  di negeri ini, yaitu dengan memberikan pendidikan tambahan bagi calon guru di Indonesia selama satu tahun. Benarkah program ini dapat meningkatkan kualitas guru?
Berbagai tanggapan pun muncul dari mahasiswa mengenai P2G, yang sekarang ini sedang dirancang kurikulumnya. Salah seorang mahasiswa non kependidikan mengatakan bahwa ia setuju dengan adanya P2G sebab dapat memberi kesempatan mahasiswa non kependidikan untuk dapat menjadi seorang pendidik. Namun mahasiswa pendidikan menyatakan bahwa P2G hanyalah pengganti AKTA4 yang sekarang sudah dihapuskan. Dia juga menganggap bahwa P2G akan menghambat proses kelulusan sebab harus mengikuti pendidikan profesi tersebut selama satu tahun untuk mendapatkan lisensi mengajar. Padahal, mahasiswa pendidikan telah mendapat mata kuliah keguruan. Begitulah tanggapan dari dua mahasiswa yang berbeda program studinya.
Jika program pendidikan profesi ini terbuka bagi mahasiswa lulusan pendidikan maupun non pendidikan, maka bisa jadi program studi pendidikan akan gulung tikar. Buat apa ada program study pendidikan, kalau lulusan non pendidikan pun dapat mengikuti pendidikan profesi ini? Mahasiswa pendidikan sudah mempunyai bekal mengajar, mereka sudah mendapatkan beberapa mata kuliah pendidikan seperti psikologi pendidikan, management pembelajaran, mikro teaching, dan bahkan sudah mengalami secara langsung mengajar di sekolah-sekolah. Tentu saja apabila program pendidikan profesi ini juga dibuka untuk mahasiswa non pendidikan, mahasiswa lulusan non kependidikan pun harus disamakan dulu dengan mahasiswa Pendidikan dari segi kapasitas ilmu kependidikannya. Begitu juga dengan mahasiswa pendidikan harus disamakan juga dari segi kapasitas ilmu Sainteknya. Saya jadi bingung! Jika sudah ada program study pendidikan, mengapa harus ada pendidikan profesi? Saya juga heran, mengapa UNY tiba-tiba menerima program pendidikan profesi ini? Apakah ada unsur UUD (Ujung-Ujungnya Duit) disana? Semoga saja tidak.
Terlepas dari hal di atas, menurut saya kualitas guru memang menjadi salah satu bagian terpenting bagi keberhasilan proses belajar mengajar yang nantinya akan berimbas pada kualitas sumber daya manusia Indonesia. Saya sepakat bahwa seorang guru harus profesional. Tetapi kita harus menyadari bahwa keprofesionalan itu tidak bisa diraih hanya dengan pendidikan satu tahun, apalagi pendidikan beberapa bulan. Keprofesionalan dapat diraih melalui proses yang bertahap dan didukung oleh pilar-pilar pendidikan yang lain, mulai dari sistem pendidikan yang baik, kurikulum pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan, dan tentu saja dukungan dari pemerintah secara total dalam pengelolaan pendidikan.
Saya menyayangkan jika keinginan seseorang menjadi guru cenderung bukan karena  keinginan mendidik tunas-tunas bangsa menjadi anak-anak unggulan dan terdepan, tetapi lebih kepada menjadikan guru sebagai profesi/pekerjaan, sehingga orientasinya pun, bagaimana agar gaji bisa lebih besar, tunjangan menjadi berlipat-lipat, dan lain sebagainya. Tujuan seperti ini pun kemudian akan mengarahkan guru mengikuti program-program seperti sertifikasi guru dan pendidikan profesi guna mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, sehingga tunjangannya pun bertambah. Ketika keinginan itu sudah tercapai, bisa dipastikan, dalam praktek di lapangan, guru seperti ini akan membuang jauh-jauh teori-teori mengajar yang dia dapatkan selama pelatihan. Ironi yang terjadi di negeri ini. Guru yang sudah mengabdi selama 10 tahun tetapi tetap saja jabatannya hanya sebagai guru bantu dengan gaji yang jauh dari kata layak. Sedangkan guru yang baru saja diterima sebagai guru dengan modal beberapa sertifikat sudah diangkat sebagai PNS dengan gaji berjuta-juta dan tunjangan beraneka warna.
Hal ini menjadi PR bagi beberapa universitas pendidikan dan pihak-pihak yang peduli terhadap nasib pendidikan negeri ini untuk mengupayakan dan mempengaruhi system pendidikan saat ini agar menjadi system yang lebih adil dan beradab..

UU BHP, Ancaman Bagi Orang Miskin


Pendidikan merupakan salah satu komponen terpenting keberhasilan suatu Negara. Jika suatu Negara memperhatikan dan memberikan pelayanan yang baik terhadap pendidikan di negerinya, maka negeri itu pun akan menjadi negeri terbaik dan terdepan. Oleh karena itu, Negara yang menginginkan menjadi baik dan terdepan, dia wajib memberikan pelayanan pendidikan yang baik kepada seluruh rakyatnya secara gratis. Apalagi pendidikan merupakan kebutuhan pokok setiap orang, dan negaralah yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi setiap kebutuhan pokok rakyatnya dengan kekayaan negeri yang dimiliki.
Globalisasi dan hegemoni Barat saat ini menyebabkan Negara kita dilanda berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi. Saat ini Indonesia masih terjerat dalam hutang IMF yang mana setiap tahunnya harus menganggarkan 35 % APBN untuk membayar hutang tersebut. Hal inilah kemudian yang menyebabkan Indonesia tidak mampu membiayai beberapa keperluan dalam negeri, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan berbagai bidang lainnya. Ironi memang, jika kita melihat negeri ini yang melimpah sumber daya alamnya.
Tercengang mata dan hati ini melihat realita bahwa kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ini dibagi-bagi dengan pihak asing melalui program privatisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia sendiri. Dengan privatisasi ini, Indonesia memang akan mendapatkan tambahan uang dari penjualan sekian persen saham dalam negeri. Tapi, apa yang terjadi setelah beberapa tahun berikutnya? Indonesia gigit jari. Indonesia harus rela berbagi kekayaan, meskipun kebutuhan dalam negeri sendiri belum terpenuhi. Lihat saja Freeport, berapa juta U$ dollar yang dihasilkan setiap harinya, dan berapa juta jiwa rakyat Papua kelaparan? Inilah penyebab mengapa akhir-akhir ini pemerintah menghapuskan banyak subsidi, pemerintah merasa tidak mampu lagi menanggung biaya itu, termasuk juga subsidi pendidikan. Hal ini semakin terlihat jelas sejak beberapa perguruan tinggi negeri (UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU dan Unair) diubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan saat ini berlakulah UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang melegalkan pemungutan baiya pendidikan kepada anak-anak Indonesia.
Banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk melegalisasi ”aksi lepas tanggung jawab” Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, ”Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08).
Coba saja kita amati pengalaman tahun 2008. Jika tahun 2008 UNY menganggarkan 4-10 juta untuk biaya semester awal, berarti sepertiganya adalah 1,3-3 jutaan. Belum lagi UGM, 5-100 juta, berapa sepertiganya? Biaya pendidikan pun menjadi relatif pada masing-masing universitas. Universitas yang mematok biaya cukup murah, berarti bisa dipastikan sarana dan prasarana yang disediakan pun pas-pasan, sedangkan universitas yang mematok biaya tinggi, bisa memberikan sarana dan prasarana yang berkualitas. Orang miskinpun tidak bisa menikmati pelayanan pendidikan yang baik. Jikalau perguruan tinggi menginginkan kualitasnya tetap baik dan dapat mematok biaya yang relative terjangkau oleh mahasiswa kalangan memengah ke bawah, maka dia harus banting stir mencari dana kemana-mana, termasuk bekerjasama dengan pemilik modal dalam negeri maupun asing. Ujung-ujungnya hanya privatisasi pendidikan. Pendidikan tak ubahnya barang ekonomi yang diperjualbelikan seperti BUMN kita.
Sedangkan kewajiban menjaring dan menerima siswa yang mempunyai akademik tinggi dan kurang mampu sekurangnya 20 persen, saya rasa itu tidak adil, karena survey mengatakan bahwa orang miskin di Indonesia lebih banyak dari pada orang kaya. Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Artinya, UU BHP tidak dapat menjamin seluruh rakyat Indonesia menikmati pendidikan.
Akhirnya, keprihatinan merupakan satu kata yang tepat bagi negari ini. Selama kekayaan negeri ini masih dikelola dan dinikmati pihak asing pemilik modal (kapitalis), maka bisa dipastikan negeri ini akan tetap dalam keterpurukan bahkan lebih parah lagi. Saatnya mahasiswa buka mata, telinga dan tutur kata. Apatis, individualis, dan liberalis adalah istilah-istilah setan yang harus di buang jauh dari benak kita. Serukan kebenaran dan bawa negeri ini lepas dari keterpurukan. Mahasiswa, engkaulah masa depan bangsa.
Marginingsih